Georgia, sebuah negara yang terletak di antara Rusia dan Turki di wilayah Kaukasus, telah menjadi titik nyala ketegangan geopolitik. Pada 13 Mei 2024, parlemen Georgia mengesahkan undang-undang kontroversial yang ditiru dari undang-undang serupa di Rusia, yang memicu protes luas dan tuduhan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
Undang-undang tersebut, yang disahkan pada 13 Mei 2024, mewajibkan outlet media yang menerima lebih dari 20% pendanaan mereka dari luar negeri untuk mendaftar sebagai “agen asing”. Penetapan ini membawa beban yang berat, memaksa outlet media untuk mengungkapkan sumber pendanaan mereka dan berpotensi menghadapi pengawasan pemerintah yang lebih ketat.
Para pendukung RUU tersebut, terutama anggota partai berkuasa Mimpi Georgia (Georgian Dream), berpendapat bahwa hal itu diperlukan untuk memerangi pengaruh asing dan meningkatkan transparansi media. Mereka menunjuk pada kekhawatiran tentang kampanye disinformasi Rusia, khususnya setelah perang yang sedang berlangsung di Ukraina.
“Undang-undang ini penting untuk melindungi keamanan nasional kita dan memastikan lapangan permainan yang setara untuk media Georgia,” kata Irakli Kobakhidze, anggota parlemen dari Mimpi Georgia. “Outlet yang didanai asing harus dimintai pertanggungjawaban atas konten mereka, sama seperti media domestik.”
Namun, para kritikus dengan keras mengecam undang-undang tersebut, dengan alasan itu adalah upaya terang-terangan untuk membungkam perbedaan pendapat dan membisukan outlet media independen yang kritis terhadap pemerintah.
“Ini adalah hari yang gelap bagi demokrasi Georgia,” kata Nino Japaridze, jurnalis terkemuka dan pemimpin redaksi situs web berita independen Investigasi.ge. “Undang-undang ini tidak lebih dari alat untuk membungkam suara independen dan mengendalikan narasi.”
Protes Memanas dan Kecaman Internasional
Disahkannya undang-undang tersebut telah memicu protes luas di ibu kota Tbilisi. Ribuan mahasiswa, jurnalis, dan aktivis oposisi turun ke jalan, meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintah dan menuntut pencabutan undang-undang tersebut.
Protes menjadi semakin tegang, dengan laporan bentrokan antara demonstran dan polisi. Amnesty International telah mendokumentasikan insiden penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa, termasuk penahanan dan penggunaan gas air mata.
“Pihak berwenang Georgia harus mengendalikan polisi dan menghormati hak untuk berkumpul secara damai,” kata Denis Krivosheev, Wakil Direktur untuk Eropa Timur dan Asia Tengah di Amnesty International. “Kekerasan terhadap pengunjuk rasa tidak dapat diterima dan hanya akan semakin meningkatkan ketegangan.”
Komunitas internasional juga menyatakan keprihatinan mendalam tentang undang-undang baru tersebut. Uni Eropa dan Amerika Serikat sama-sama mengeluarkan pernyataan yang mendesak pemerintah Georgia untuk mempertimbangkan kembali undang-undang tersebut dan menjunjung tinggi komitmennya terhadap kebebasan pers.
“Kami sangat prihatin tentang disahkannya undang-undang ini, yang memiliki efek mengerikan pada kebebasan berekspresi,” kata juru bicara Uni Eropa. “Kami mendesak pemerintah Georgia untuk terlibat dalam dialog konstruktif dengan perwakilan media dan masyarakat sipil untuk mengatasi kekhawatiran yang sah tentang pengaruh asing tanpa mengorbankan kebebasan pers.”
Hubungan Penuh Ketegangan dengan Rusia
Kontroversi seputar undang-undang media asing tersebut menggarisbawahi hubungan yang kompleks dan seringkali tegang antara Georgia dan Rusia. Kedua negara memiliki sejarah konflik yang panjang, sejak era Soviet.
Georgia berperang singkat dengan Rusia pada tahun 2008 memperebutkan wilayah breakaway Ossetia Selatan. Sejak saat itu, ketegangan tetap tinggi, dengan Rusia dituduh mencampuri urusan politik Georgia dan mendukung gerakan separatis.
Para pendukung undang-undang tersebut menunjuk pada ketegangan sejarah ini sebagai pembenaran untuk undang-undang tersebut. Mereka berpendapat bahwa Rusia memiliki sejarah panjang menggunakan outlet media untuk menabur perselisihan dan melemahkan institusi demokrasi di negara-negara tetangga.
“Rusia memiliki sejarah penggunaan kampanye disinformasi untuk mengacaukan tetangganya yang terdokumentasikan dengan baik,” kata anggota parlemen Mimpi Georgia, Shalva Papashvili. “Undang-undang ini merupakan langkah yang diperlukan untuk melindungi Georgia dari gangguan semacam itu.”
Namun, para kritikus berpendapat bahwa undang-undang tersebut merupakan taktik sinis oleh pemerintah Georgia untuk menyenangkan Rusia dengan mengorbankan nilai-nilai demokrasinya sendiri. Mereka menunjukkan bahwa undang-undang tersebut sangat mirip dengan undang-undang yang disahkan di Rusia pada tahun 2017, yang telah digunakan untuk menindak outlet media independen.
“Undang-undang ini merupakan pengkhianatan terhadap semua yang diperjuangkan Georgia,” kata pemimpin oposisi Nika Melia. “Pemerintah mengorbankan kebebasan yang kami peroleh dengan susah payah untuk menjilat Rusia.”
Komunitas Internasional Menyatakan Keprihatinan
Komunitas internasional telah menyatakan keprihatinannya tentang situasi di Georgia. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendesak pemerintah Georgia untuk “menjunjung tinggi komitmennya terhadap kebebasan media dan masyarakat sipil.” “Kami memantau dengan seksama perkembangan di Georgia dan menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri,” demikian pernyataan tersebut.
Uni Eropa juga menyuarakan keprihatinan ini, dengan juru bicara blok tersebut menyatakan bahwa Uni Eropa “berkomitmen untuk mendukung kebebasan media dan masyarakat sipil di Georgia.” Pengesahan undang-undang tersebut kemungkinan akan membayangi hubungan Georgia dengan Barat dan mempersulit aspirasinya untuk integrasi yang lebih dekat dengan lembaga-lembaga Eropa.
Komunitas internasional akan terus mengamati perkembangan di Georgia dengan seksama. Uni Eropa pun telah mengancam akan menahan bantuan keuangan jika pemerintah tidak mengatasi kekhawatiran tentang undang-undang tersebut.
Masa Depan Media Georgia yang Tidak Pasti
Pengesahan undang-undang media asing membayangi masa depan media Georgia. Masih harus dilihat bagaimana undang-undang tersebut akan diterapkan dan bagaimana hal itu akan mempengaruhi pekerjaan jurnalis independen.
Beberapa media telah mengancam akan menutup usaha mereka daripada mendaftar sebagai “agen asing”. Pihak lain khawatir bahwa undang-undang tersebut akan menciptakan iklim sensor diri, karena wartawan menjadi waspada dalam melaporkan topik-topik yang dianggap kritis terhadap pemerintah.
Beberapa minggu dan bulan ke depan akan sangat penting bagi Georgia. Negara ini menghadapi pilihan yang sulit: melindungi kebebasan media dan nilai-nilai demokrasinya, atau menyerah pada tekanan otoritarianisme.