Energi nuklir fusion adalah salah satu teknologi yang diharapkan dapat memberikan solusi untuk krisis energi dan perubahan iklim. Dengan menggabungkan inti atom hidrogen, proses ini dapat menghasilkan energi bersih dan berlimpah, tanpa emisi gas rumah kaca atau limbah radioaktif. Namun, menciptakan dan mengendalikan reaksi fusion di bumi bukanlah hal yang mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga plasma hidrogen yang dipanaskan hingga jutaan derajat Celsius tetap stabil dan tidak merusak dinding reaktor. Untuk itu, para ilmuwan telah menggunakan kecerdasan buatan (AI) sebagai alat bantu yang inovatif dan efektif.
AI Memprediksi dan Mencegah Instabilitas Plasma
Salah satu contoh penggunaan AI untuk mengatasi masalah instabilitas plasma adalah penelitian yang dilakukan oleh tim dari Princeton University di Amerika Serikat. Mereka berhasil mengembangkan sebuah model AI yang dapat memprediksi dan mencegah terjadinya fenomena yang disebut tearing mode. Tearing mode adalah gangguan magnetik yang dapat memecah plasma menjadi pulau-pulau kecil dan mengganggu aliran arus listrik di dalamnya. Jika tidak ditangani, tearing mode dapat menyebabkan plasma kehilangan panas dan tekanan, serta berpotensi merobek dinding reaktor.
Tim Princeton bekerja sama dengan perusahaan DeepMind, yang merupakan anak perusahaan dari Alphabet, pemilik Google. Mereka menggunakan teknik deep reinforcement learning, yang merupakan cabang dari AI yang belajar dari pengalaman dan umpan balik. Model AI ini dilatih dengan data dari eksperimen plasma di reaktor tokamak, yaitu jenis reaktor fusion berbentuk donat yang paling banyak digunakan saat ini. Model AI ini kemudian diuji di reaktor tokamak bernama TCV yang berada di Swiss Plasma Center, Lausanne.
Hasilnya, model AI mampu mengontrol 19 kumparan magnetik yang mengelilingi reaktor untuk membentuk dan mengatur plasma sesuai dengan tujuan eksperimen. Model AI juga dapat mendeteksi adanya tearing mode sebelum terjadi dan mengambil tindakan pencegahan dengan cara mengubah bentuk dan posisi plasma. Dengan demikian, model AI dapat meningkatkan stabilitas dan kinerja plasma, serta mengurangi risiko kerusakan reaktor.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature pada bulan Februari 2024. Ini merupakan kali pertama AI digunakan untuk mengendalikan plasma di reaktor fusion secara real-time. Federico Felici, seorang fisikawan di EPFL dan salah satu pemimpin proyek, mengatakan bahwa AI memiliki potensi besar untuk membantu pengembangan energi nuklir fusion. "Saya pikir AI akan memainkan peran yang sangat besar dalam kontrol reaktor tokamak dan ilmu fusion pada umumnya di masa depan," katanya.
AI Mentracking dan Memahami Perilaku Plasma
Selain memprediksi dan mencegah instabilitas plasma, AI juga dapat digunakan untuk mentracking dan memahami perilaku plasma secara lebih mendalam. Ini penting untuk mengoptimalkan desain dan operasi reaktor fusion, serta untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan prosesnya. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menggunakan AI untuk mengenali dan mengikuti jejak blob plasma, yaitu struktur plasma yang bergerak secara acak dan cepat di sepanjang dinding reaktor.
Blob plasma dapat mempengaruhi transportasi panas dan partikel di dalam reaktor, serta menyebabkan erosi pada permukaan dinding. Namun, mengamati dan mengukur blob plasma secara langsung sangat sulit, karena mereka bergerak dengan kecepatan tinggi dan memiliki ukuran yang bervariasi. Oleh karena itu, para ilmuwan dari University of California, San Diego, di Amerika Serikat, mengembangkan sebuah model AI yang dapat secara otomatis mendeteksi dan menghitung blob plasma dari data video yang diambil dari kamera di reaktor.
Model AI ini menggunakan teknik convolutional neural network, yang merupakan jenis AI yang terinspirasi dari penglihatan manusia. Model AI ini dilatih dengan data video dari reaktor tokamak bernama DIII-D, yang merupakan fasilitas penelitian fusion terbesar di AS. Model AI ini kemudian diaplikasikan pada data video dari reaktor tokamak lainnya, yaitu ASDEX Upgrade di Jerman dan KSTAR di Korea Selatan.
Hasilnya, model AI dapat mengenali dan menghitung blob plasma dengan akurasi yang tinggi, bahkan pada kondisi plasma yang berbeda-beda. Model AI juga dapat memberikan informasi tentang distribusi, frekuensi, dan kecepatan blob plasma. Dengan demikian, model AI dapat membantu para ilmuwan untuk mempelajari karakteristik dan dinamika blob plasma, serta dampaknya terhadap reaktor fusion.
Penelitian ini dipublikasikan di jurnal Physics of Plasmas pada bulan November 2022. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana AI dapat membantu analisis data plasma yang kompleks dan beragam. Patrick Diamond, seorang profesor fisika di UC San Diego dan salah satu penulis penelitian, mengatakan bahwa AI dapat memberikan wawasan baru tentang fenomena plasma yang sulit dipahami. "AI adalah alat yang sangat kuat untuk mengeksplorasi data plasma dan menemukan pola-pola yang tersembunyi," katanya.
AI Menuju Energi Nuklir Fusion yang Berkelanjutan
Penggunaan AI untuk mengendalikan dan memahami plasma di reaktor fusion menunjukkan bahwa teknologi ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk pengembangan energi nuklir fusion. Dengan bantuan AI, para ilmuwan dapat mengatasi berbagai tantangan yang menghambat pencapaian fusion yang stabil, efisien, dan aman. Selain itu, AI juga dapat membantu para ilmuwan untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan dan skenario yang ada di reaktor fusion, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang ilmu plasma.
Energi nuklir fusion dianggap sebagai salah satu sumber energi masa depan yang paling menjanjikan, karena memiliki potensi untuk menghasilkan energi bersih dan berlimpah, tanpa emisi gas rumah kaca atau limbah radioaktif. Namun, untuk mewujudkan mimpi ini, masih diperlukan banyak penelitian dan pengembangan yang intensif dan kolaboratif. AI dapat menjadi salah satu mitra yang dapat membantu para ilmuwan untuk mencapai tujuan tersebut.
Saat ini, proyek fusion internasional terbesar dan tercanggih adalah ITER, yang sedang dibangun di Prancis. Proyek ini melibatkan 35 negara, termasuk Indonesia, yang berpartisipasi sebagai anggota atau mitra. ITER bertujuan untuk menciptakan reaksi fusion yang menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsi, yang disebut sebagai ignition. Proyek ini diharapkan dapat menunjukkan kelayakan teknis dan ilmiah dari energi nuklir fusion sebagai sumber energi komersial.
ITER direncanakan untuk mulai beroperasi pada tahun 2025, dan mencapai ignition pada tahun 2035. AI diharapkan dapat berperan aktif dalam operasi dan penelitian di ITER, serta di reaktor fusion lainnya di seluruh dunia. Dengan demikian, AI dapat membantu mewujudkan mimpi energi nuklir fusion yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi umat manusia.