Perumahan darurat menjadi salah satu isu utama yang dihadapi oleh pemerintah Selandia Baru saat ini. Menurut data terbaru dari Kementerian Pembangunan Sosial, ada sekitar 23.000 orang yang masuk dalam daftar tunggu untuk mendapatkan perumahan sosial, dan sekitar 4.000 orang yang tinggal di akomodasi darurat seperti motel dan rumah singgah. Pemerintah mengakui bahwa situasi ini tidak ideal dan berusaha untuk mencari solusi jangka panjang.
Salah satu langkah yang diambil oleh pemerintah adalah mengajak para pemilik rumah untuk berpartisipasi dalam program penyediaan perumahan transisi, yaitu jenis perumahan sementara yang ditujukan untuk membantu orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal untuk menyiapkan diri menuju perumahan permanen. Pemerintah menawarkan insentif berupa subsidi sewa, jaminan kerusakan, dan dukungan manajemen properti bagi para pemilik rumah yang bersedia menyewakan rumah mereka kepada orang-orang yang membutuhkan perumahan transisi.
Menteri Perumahan Megan Woods mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada motel sebagai akomodasi darurat, yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraan orang-orang yang mengalaminya. “Kami ingin orang-orang memiliki tempat tinggal yang layak, aman, dan terjangkau, bukan tinggal di motel yang mahal dan tidak memiliki fasilitas yang memadai,” kata Woods.
Namun, program ini juga mendapat kritik dari beberapa pihak, terutama dari kelompok hak asasi manusia dan advokasi perumahan. Mereka mengkhawatirkan bahwa program ini tidak menjamin perlindungan hukum bagi para penyewa perumahan transisi, yang tidak termasuk dalam Undang-Undang Sewa Perumahan 1986 atau perubahannya tahun 2020. Mereka juga menyoroti bahwa program ini tidak menyelesaikan akar masalah dari krisis perumahan, yaitu kurangnya pasokan perumahan sosial dan terjangkau yang memenuhi standar kualitas.
Salah satu kelompok yang menyuarakan kekhawatiran ini adalah Human Rights Foundation of Aotearoa New Zealand, yang baru-baru ini mengajukan keluhan kepada Komisi Hak Asasi Manusia mengenai praktik perumahan darurat pemerintah. Ketua kelompok tersebut, Peter Hosking, mengatakan bahwa pemerintah telah gagal memenuhi kewajiban internasionalnya untuk menjamin hak atas perumahan yang layak bagi warganya. “Kami berharap pemerintah mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap orang yang membutuhkan perumahan darurat mendapatkan perumahan yang memenuhi standar hak asasi manusia, termasuk hak untuk privasi, keamanan, dan martabat,” kata Hosking.
Di sisi lain, ada juga yang mendukung program pemerintah dan berharap dapat memberikan dampak positif bagi para penyewa dan pemilik rumah. Salah satunya adalah Mike Greer, seorang pengembang properti yang telah menyewakan sebagian rumahnya kepada orang-orang yang membutuhkan perumahan transisi. Greer mengatakan bahwa ia merasa senang dapat membantu orang-orang yang kurang beruntung dan melihat perubahan yang terjadi pada mereka setelah mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik. “Saya melihat mereka menjadi lebih percaya diri, lebih bahagia, dan lebih termotivasi untuk mencari pekerjaan atau pendidikan. Saya juga merasa lebih tenang karena tahu bahwa rumah saya diurus dengan baik oleh pemerintah,” kata Greer.
Program penyediaan perumahan transisi pemerintah masih berlangsung hingga saat ini, dan pemerintah berencana untuk menambah jumlah perumahan transisi yang tersedia dari 3.000 menjadi 6.000 unit pada tahun 2024. Pemerintah juga berkomitmen untuk terus membangun dan memperbaiki perumahan sosial dan terjangkau, serta mengatur pasar perumahan agar lebih adil dan terjangkau bagi semua orang. Namun, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah masih besar, mengingat tingginya permintaan dan rendahnya pasokan perumahan di Selandia Baru. Oleh karena itu, kerjasama dan partisipasi dari semua pihak, termasuk para pemilik rumah, sangat dibutuhkan untuk mengatasi krisis perumahan yang sedang berlangsung.