Port-au-Prince, ibu kota Haiti, dilanda kekacauan dan kekerasan setelah sekelompok geng bersenjata menyerbu penjara utama di kota tersebut dan membebaskan ribuan narapidana. Pemerintah Haiti telah mengumumkan keadaan darurat dan jam malam untuk mengatasi krisis keamanan yang semakin memburuk.
Serangan geng untuk menjatuhkan perdana menteri
Serangan terhadap penjara Nasional, yang merupakan penjara terbesar di Haiti, terjadi pada hari Minggu, 3 Maret 2024. Menurut seorang wartawan lokal yang berbicara dengan BBC News, sebagian besar dari sekitar 4.000 pria yang ditahan di sana telah melarikan diri. Di antara mereka yang ditahan adalah anggota geng yang didakwa terlibat dalam pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada tahun 2021.
Serangan ini merupakan bagian dari gelombang kekerasan yang dilancarkan oleh pemimpin geng Jimmy Cherizier, yang dikenal dengan julukan “Barbekyu”, yang bertujuan untuk menjatuhkan Perdana Menteri Ariel Henry. Cherizier, mantan perwira polisi, mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian serangan yang terjadi di ibu kota sejak Kamis lalu, yang menargetkan bandara internasional, kantor polisi, dan penjara.
Cherizier mengatakan bahwa semua kelompok bersenjata di Haiti, baik di kota maupun di pedesaan, bersatu untuk menggulingkan Henry, yang ia sebut sebagai “pengkhianat” dan “boneka” dari komunitas internasional. Ia juga menuduh Henry terlibat dalam pembunuhan Moïse, meskipun tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Henry, yang mengambil alih kekuasaan setelah pembunuhan Moïse, sebelumnya mengatakan bahwa ia akan mundur pada awal Februari. Namun, ia kemudian mengatakan bahwa keamanan harus dipulihkan terlebih dahulu untuk memastikan pemilihan umum yang bebas dan adil. Henry saat ini sedang berada di Kenya untuk membahas pengiriman pasukan keamanan multinasional yang dipimpin oleh Kenya ke Haiti. Lokasi keberadaan Henry masih belum diketahui.
Korban jiwa dan kerusakan akibat kekerasan
Kekerasan di Haiti, negara termiskin di benua Amerika, telah memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Menurut PBB, geng-geng di Haiti menguasai sekitar 80% wilayah Port-au-Prince. Pada bulan Januari, PBB mengatakan bahwa lebih dari 8.400 orang menjadi korban kekerasan geng di Haiti tahun lalu, termasuk pembunuhan, luka-luka, dan penculikan – lebih dari dua kali lipat dari angka tahun 2022.
Serangan terhadap penjara Nasional menambah daftar panjang korban jiwa dan kerusakan akibat kekerasan geng. Menurut Kementerian Komunikasi Haiti, serangan tersebut “bertujuan untuk membebaskan mereka yang dipenjara karena tindakan pembunuhan, penculikan, dan kejahatan serius lainnya”. Kementerian tersebut mengakui kegagalan pasukan polisi untuk mencegah pelarian banyak narapidana, dan mengatakan bahwa serangan tersebut menyebabkan banyak narapidana dan staf penjara terluka.
Salah satu saksi mata yang berada di dekat penjara mengatakan kepada Reuters bahwa ia melihat mayat-mayat berserakan di jalan-jalan, dan mendengar tembakan dan ledakan. Ia juga mengatakan bahwa ia melihat beberapa narapidana yang mencoba melarikan diri ditembak mati oleh penjaga penjara.
Di antara narapidana yang masih berada di dalam penjara adalah 18 mantan tentara Kolombia yang dituduh bekerja sebagai tentara bayaran dalam pembunuhan Moïse. Mereka ditahan di blok khusus yang dilindungi oleh pasukan PBB.
Reaksi dan respons dari pihak berwenang dan masyarakat internasional
Pemerintah Haiti telah mengambil langkah-langkah darurat untuk mengendalikan situasi, termasuk mengumumkan keadaan darurat, jam malam, dan pembatasan pergerakan di Port-au-Prince dan sekitarnya. Pemerintah juga meminta bantuan dari masyarakat internasional untuk mengatasi krisis keamanan dan kemanusiaan yang dihadapi oleh negara tersebut.
Serikat Polisi Haiti telah meminta bantuan dari militer untuk membantu mengamankan penjara dan mengembalikan ketertiban. Namun, militer Haiti sendiri masih lemah dan terbatas, setelah dibubarkan pada tahun 1995 dan dibentuk kembali pada tahun 2017.
Masyarakat internasional juga telah menyatakan keprihatinan dan dukungan terhadap Haiti. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk kekerasan geng dan menyerukan dialog nasional untuk menyelesaikan krisis politik di Haiti. Ia juga menegaskan komitmen PBB untuk membantu Haiti dalam upaya pemulihan dan pembangunan.
Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Organisasi Negara-Negara Amerika juga mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam kekerasan geng dan mendesak semua pihak untuk menghormati hukum dan hak asasi manusia. Mereka juga menyerukan penyelenggaraan pemilihan umum yang kredibel dan inklusif sesegera mungkin, dan menawarkan bantuan untuk memfasilitasi proses tersebut.
Kekerasan di Haiti merupakan dampak dari krisis politik dan sosial yang berkepanjangan di negara tersebut, yang diperparah oleh pembunuhan Moïse pada tahun 2021. Sejak saat itu, Haiti belum memiliki presiden yang sah, dan belum mengadakan pemilihan umum sejak tahun 2016. Di bawah kesepakatan, pemilihan umum seharusnya diadakan dan Henry yang tidak dipilih seharusnya mundur pada 7 Februari, tetapi hal itu tidak terjadi.
Situasi di Haiti saat ini sangat tidak stabil dan berbahaya, tidak hanya bagi warganya, tetapi juga bagi komunitas internasional. Diperlukan upaya bersama dan koordinasi untuk menghentikan kekerasan, mengembalikan keamanan, dan membangun kembali demokrasi di Haiti.