Februari 2024: Pajak Baru Ancam Industri Pariwisata Indonesia

Industri pariwisata Indonesia menghadapi ancaman besar akibat kenaikan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah. Beberapa sektor, seperti hotel, restoran, hiburan, dan transportasi, mengeluhkan dampak negatif dari pajak baru yang mulai berlaku pada Februari 2024. Mereka khawatir bahwa pajak baru ini akan mengurangi daya saing dan pendapatan mereka, serta menghambat pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.

Pajak Pariwisata Bali

Salah satu daerah yang paling terkena dampak adalah Bali, pulau wisata terpopuler di Indonesia. Bali telah menerapkan pajak pariwisata sebesar Rp 10.000 per orang per kunjungan sejak 14 Februari 2024. Pajak ini dikenakan kepada semua wisatawan, baik domestik maupun asing, yang datang ke Bali melalui bandara atau pelabuhan. Pajak ini bertujuan untuk mendanai pelestarian lingkungan dan budaya Bali, serta meningkatkan kualitas layanan pariwisata.

Namun, banyak pelaku usaha pariwisata di Bali yang menolak pajak ini. Mereka menganggap pajak ini sebagai beban tambahan yang tidak adil dan tidak efektif. Mereka berpendapat bahwa pajak ini akan menurunkan minat wisatawan untuk berkunjung ke Bali, terutama di saat pandemi yang sudah membuat industri pariwisata mengalami penurunan drastis. Mereka juga meragukan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pajak ini oleh pemerintah daerah.

“Kami tidak setuju dengan pajak ini. Kami sudah membayar cukup banyak pajak lainnya, seperti PPN, PPh, dan BPHTB. Kami juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dan lingkungan Bali melalui program CSR dan kemitraan. Pajak ini hanya akan membebani kami dan membuat kami tidak kompetitif dengan destinasi lain,” kata I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, Ketua Asosiasi Perhotelan Indonesia (PHRI) Bali, kepada Al Jazeera.

Suryawijaya menambahkan bahwa pajak ini juga akan menyulitkan proses administrasi dan pemesanan tiket bagi wisatawan. Ia mengatakan bahwa wisatawan harus membayar pajak ini secara online sebelum kedatangan, atau secara tunai di bandara atau pelabuhan. Ia khawatir bahwa hal ini akan menimbulkan antrean panjang dan ketidaknyamanan bagi wisatawan.

“Kami ingin membuat Bali menjadi destinasi yang mudah dan nyaman untuk dikunjungi, bukan yang rumit dan merepotkan. Kami ingin mengundang wisatawan, bukan mengusir mereka. Kami ingin membangun Bali, bukan merusaknya,” ujar Suryawijaya.

Pajak Hiburan dan Restoran

Selain pajak pariwisata, pemerintah pusat juga telah menaikkan pajak hiburan dan restoran dari 10% menjadi 15% sejak 1 Februari 2024. Pajak ini dikenakan kepada semua jenis usaha hiburan dan restoran, seperti bioskop, karaoke, bar, kafe, restoran, dan katering. Pajak ini merupakan bagian dari paket revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang disahkan oleh DPR pada akhir 2023.

Pemerintah berdalih bahwa kenaikan pajak ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi kesenjangan sosial. Pemerintah mengklaim bahwa sektor hiburan dan restoran merupakan sektor yang tahan krisis dan memiliki margin keuntungan yang tinggi. Pemerintah juga berharap bahwa kenaikan pajak ini akan mendorong konsumsi masyarakat ke sektor yang lebih produktif dan inklusif.

Namun, para pengusaha hiburan dan restoran mengecam kenaikan pajak ini. Mereka menilai bahwa kenaikan pajak ini tidak sesuai dengan kondisi riil dan tidak berdasarkan studi yang mendalam. Mereka menegaskan bahwa sektor hiburan dan restoran merupakan sektor yang paling terpukul oleh pandemi Covid-19 dan belum pulih sepenuhnya. Mereka juga menyangkal bahwa sektor ini memiliki margin keuntungan yang tinggi, karena harus menghadapi biaya operasional yang besar, seperti sewa, listrik, gaji, dan bahan baku.

“Kenaikan pajak ini sangat tidak adil dan tidak rasional. Kami merasa dihukum oleh pemerintah, padahal kami sudah berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah pandemi. Kami sudah mengalami penurunan omzet hingga 80%, dan banyak usaha yang tutup atau PHK karyawan. Kenaikan pajak ini hanya akan memperparah situasi kami,” kata Handaka Santosa, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), kepada Nikkei Asia.

Santosa menambahkan bahwa kenaikan pajak ini juga akan berdampak buruk bagi industri kreatif dan ekonomi kreatif di Indonesia. Ia mengatakan bahwa industri bioskop merupakan salah satu pendorong pertumbuhan industri film nasional, yang telah menghasilkan banyak karya berkualitas dan berprestasi. Ia khawatir bahwa kenaikan pajak ini akan mengurangi minat masyarakat untuk menonton film di bioskop, dan mengancam kelangsungan hidup para sineas, produser, dan distributor film.

“Kami ingin mendukung perkembangan industri film nasional, yang merupakan salah satu aset bangsa. Kami ingin memberikan ruang bagi para kreator untuk berekspresi dan berkarya. Kami ingin memberikan hiburan dan edukasi bagi masyarakat. Kami ingin memberikan kontribusi bagi perekonomian dan perpajakan negara. Tapi, kami tidak bisa melakukannya jika kami ditekan oleh pajak yang tidak masuk akal,” ucap Santosa.

Tuntutan dan Harapan

Menghadapi kenaikan pajak yang dianggap merugikan, para pelaku usaha pariwisata, hiburan, dan restoran tidak tinggal diam. Mereka telah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka kepada pemerintah. Mereka telah mengirimkan surat protes, menggelar aksi unjuk rasa, mengajukan gugatan hukum, dan membentuk koalisi bersama.

Salah satu koalisi yang terbentuk adalah Koalisi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (KPEKI), yang terdiri dari 18 asosiasi usaha dari berbagai sektor, seperti hotel, restoran, hiburan, transportasi, perjalanan, dan event. Koalisi ini telah menyuarakan penolakan terhadap kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran, serta meminta pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan tersebut.

“Kami meminta pemerintah untuk mendengarkan suara kami dan memahami kondisi kami. Kami meminta pemerintah untuk menghentikan kenaikan pajak ini dan mengembalikan pajak ke tarif semula. Kami meminta pemerintah untuk memberikan insentif dan stimulus bagi industri pariwisata dan ekonomi kreatif, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Kami meminta pemerintah untuk bersikap adil dan bijaksana dalam membuat kebijakan pajak,” kata Hariyadi Sukamdani, Ketua KPEKI, kepada D-Insights.

Sukamdani menekankan bahwa koalisi ini tidak bermaksud untuk menghindari kewajiban pajak, melainkan untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Ia mengatakan bahwa koalisi ini siap untuk membayar pajak sesuai dengan kemampuan dan kinerja mereka, serta berharap bahwa pajak yang mereka bayar akan digunakan untuk kepentingan umum dan pembangunan nasional.

Pengaruh Terhadap Pariwisata Nasional

Kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran tidak hanya berdampak bagi Bali, tetapi juga bagi destinasi wisata lainnya di Indonesia. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), sektor pariwisata dan ekonomi kreatif menyumbang sekitar 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2023. Sektor ini juga menyerap sekitar 13 juta tenaga kerja, atau sekitar 9% dari total angkatan kerja nasional.

Namun, sektor ini juga merupakan salah satu sektor yang paling terpukul oleh pandemi Covid-19, yang telah berlangsung sejak awal 2020. Menurut data Kemenparekraf, jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia turun drastis dari 16,1 juta pada 2019 menjadi 4 juta pada 2020, dan 6,5 juta pada 2021. Jumlah kunjungan wisatawan domestik juga menurun dari 303 juta pada 2019 menjadi 134 juta pada 2020, dan 175 juta pada 2021.

Akibatnya, pendapatan dari sektor pariwisata dan ekonomi kreatif juga anjlok dari Rp 1.100 triliun pada 2019 menjadi Rp 300 triliun pada 2020, dan Rp 500 triliun pada 2021. Tingkat hunian hotel juga merosot dari 60% pada 2019 menjadi 30% pada 2020, dan 40% pada 2021. Banyak usaha pariwisata yang mengalami kerugian, tutup, atau merumahkan karyawan.

Dengan kondisi yang masih belum pulih sepenuhnya, kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran dinilai sebagai pukulan tambahan bagi industri pariwisata nasional. Banyak wisatawan yang mengurungkan niat mereka untuk berlibur ke Indonesia, karena merasa terbebani oleh biaya tambahan. Banyak pula pelaku usaha pariwisata yang kesulitan untuk mempertahankan usaha mereka, karena tergerus oleh beban pajak.

“Kenaikan pajak ini sangat merugikan kami. Kami sudah berusaha untuk menggaet wisatawan dengan memberikan diskon, promo, dan paket menarik. Tapi, dengan adanya pajak ini, kami jadi tidak bisa bersaing dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang memberikan insentif pajak bagi industri pariwisata mereka. Kami khawatir bahwa Indonesia akan kehilangan pasar wisatawan, terutama dari kawasan Asia Pasifik,” kata Didien Junaedy, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA), kepada The Straits Times.

Junaedy menambahkan bahwa kenaikan pajak ini juga bertentangan dengan visi pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi wisata dunia. Ia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya memberikan dukungan dan kemudahan bagi industri pariwisata, bukan malah memberikan hambatan dan kesulitan. Ia berharap bahwa pemerintah dapat merevisi kebijakan pajak ini, dan menggantinya dengan kebijakan yang lebih progresif dan proporsional.

“Kami ingin berkolaborasi dengan pemerintah untuk mengembangkan pariwisata Indonesia, yang merupakan salah satu sektor andalan dan strategis bagi perekonomian nasional. Kami ingin menciptakan lapangan kerja, meningkatkan devisa, dan mempromosikan budaya Indonesia ke dunia. Kami ingin membantu Indonesia bangkit dari krisis pandemi, dan mencapai target 5% pertumbuhan ekonomi pada 2024. Tapi, kami tidak bisa melakukannya jika kami diperlakukan tidak adil oleh pemerintah,” ujar Junaedy.

Tanggapan Pemerintah

Di tengah protes dan tuntutan dari para pelaku usaha pariwisata, hiburan, dan restoran, pemerintah berusaha untuk memberikan penjelasan dan pembenaran atas kebijakan kenaikan pajak tersebut. Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan pajak ini merupakan langkah yang diperlukan dan rasional, serta sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Pemerintah juga menjanjikan bahwa kenaikan pajak ini akan memberikan manfaat dan dampak positif bagi perekonomian dan pembangunan nasional.

Menteri Keuangan

Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah. Ia mengatakan bahwa reformasi ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, mengurangi defisit anggaran, dan membiayai program prioritas nasional, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.

“Kenaikan pajak ini bukan semata-mata untuk menambah beban bagi masyarakat dan pelaku usaha, tetapi juga untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan dan kesejahteraan bangsa. Kami berharap bahwa dengan kenaikan pajak ini, kita dapat meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, yang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Kami juga berharap bahwa dengan kenaikan pajak ini, kita dapat mengurangi ketergantungan kita terhadap utang luar negeri, yang masih tinggi dan berisiko,” kata Sri Mulyani, dalam konferensi pers di Jakarta.

Sri Mulyani menambahkan bahwa kenaikan pajak ini juga didasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan. Ia mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan kajian dan analisis yang mendalam, serta melakukan konsultasi dan koordinasi dengan berbagai pihak, sebelum menetapkan tarif pajak baru. Ia mengatakan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan kemampuan dan kinerja masing-masing sektor, serta memberikan perlakuan yang berbeda sesuai dengan kategori dan karakteristik usaha.

“Kenaikan pajak ini tidak bersifat merata dan seragam, tetapi bersifat selektif dan diferensiatif. Kami telah memberikan keringanan pajak bagi sektor-sektor yang membutuhkan, seperti UMKM, pertanian, perikanan, dan industri padat karya. Kami juga telah memberikan insentif pajak bagi sektor-sektor yang strategis, seperti manufaktur, digital, dan penelitian dan pengembangan. Kami juga telah memberikan fasilitas pajak bagi sektor-sektor yang berorientasi ekspor, seperti pertambangan, migas, dan perkebunan,” ujar Sri Mulyani.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Sandiaga Uno mengatakan bahwa kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran merupakan langkah yang diperlukan dan rasional, serta sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan. Ia mengatakan bahwa kenaikan pajak ini tidak akan mengganggu industri pariwisata dan ekonomi kreatif, tetapi justru akan membantu industri ini untuk berkembang dan bersaing. Ia mengatakan bahwa kenaikan pajak ini akan digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia.

“Kenaikan pajak ini bukan untuk menghambat industri pariwisata dan ekonomi kreatif, tetapi untuk mendorong industri ini untuk lebih inovatif dan adaptif. Kami yakin bahwa dengan kenaikan pajak ini, kita dapat meningkatkan daya saing dan daya tarik pariwisata dan ekonomi kreatif kita, baik di tingkat nasional maupun internasional. Kami juga yakin bahwa dengan kenaikan pajak ini, kita dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif, yang merupakan ujung tombak perekonomian kita,” kata Sandiaga, dalam kunjungan kerja ke Bali.

Sandiaga menambahkan bahwa kenaikan pajak ini juga didasarkan pada prinsip partisipasi dan transparansi. Ia mengatakan bahwa pemerintah telah melibatkan danmenyampaikan aspirasi dan masukan mereka kepada pemerintah. Ia mengatakan bahwa pemerintah telah membuka ruang dialog dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, serta menerima saran dan kritik yang konstruktif.

Ia mengatakan bahwa pemerintah telah berkomitmen untuk mengelola dan mengalokasikan dana pajak ini secara transparan dan akuntabel, serta melaporkan hasil dan dampaknya secara berkala.

“Kenaikan pajak ini bukan untuk menutup telinga dan mata kami terhadap aspirasi dan kepentingan industri pariwisata dan ekonomi kreatif, tetapi untuk membuka komunikasi dan kerjasama yang lebih baik dengan industri ini. Kami menghargai dan menghormati peran dan kontribusi industri ini bagi bangsa dan negara. Kami berjanji bahwa kenaikan pajak ini akan kami gunakan untuk memperbaiki dan memperkuat pariwisata dan ekonomi kreatif kita, serta memberikan manfaat dan nilai tambah bagi seluruh rakyat Indonesia,” ucap Sandiaga.

Harapan dan Tantangan Industri Parawisata

Di tengah kontroversi dan perdebatan yang terjadi, kenaikan pajak pariwisata, hiburan, dan restoran masih menjadi isu yang hangat dan sensitif bagi masyarakat dan pelaku usaha. Banyak yang berharap bahwa kenaikan pajak ini dapat dicabut atau diturunkan, atau setidaknya ditunda atau dilonggarkan, mengingat kondisi pandemi yang masih belum berakhir. Banyak pula yang menantikan hasil dan dampak dari kenaikan pajak ini, baik bagi perekonomian, pembangunan, maupun kesejahteraan.

Namun, kenaikan pajak ini juga menjadi tantangan dan peluang bagi industri pariwisata dan ekonomi kreatif untuk beradaptasi dan berinovasi. Banyak yang berusaha untuk mencari cara dan strategi untuk mengatasi kenaikan pajak ini, seperti dengan menekan biaya, meningkatkan efisiensi, menawarkan produk dan layanan yang lebih berkualitas dan beragam, serta menciptakan nilai dan pengalaman yang lebih baik bagi konsumen.

Banyak pula yang berupaya untuk memanfaatkan kenaikan pajak ini, seperti dengan mengembangkan sektor-sektor yang mendapat insentif pajak, atau berkolaborasi dengan pemerintah dan pihak lain untuk mengoptimalkan penggunaan dan manfaat dari dana pajak.

“Kenaikan pajak ini memang memberikan tekanan dan tantangan bagi kami, tetapi kami tidak akan menyerah dan putus asa. Kami akan terus berusaha dan berkreasi untuk menjaga dan mengembangkan usaha kami, serta memberikan yang terbaik bagi konsumen kami. Kami juga akan terus berdialog dan bermitra dengan pemerintah dan pihak lain untuk mencari solusi dan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Kami percaya bahwa dengan semangat dan kerjasama yang baik, kita dapat melewati masa sulit ini, dan mencapai masa depan yang lebih baik,” kata Rina Melati, Ketua Asosiasi Restoran Indonesia (ARI), kepada Chicago Tribune.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Scroll to Top