Hari Waitangi, yang jatuh pada tanggal 6 Februari setiap tahun, adalah hari nasional Selandia Baru yang memperingati penandatanganan Perjanjian Waitangi pada tahun 1840 antara suku-suku Māori dan mahkota Inggris. Perjanjian ini dianggap sebagai dokumen pendiri negara yang mengakui kedaulatan dan hak-hak Māori sebagai penduduk asli Selandia Baru.
Namun, perjanjian ini sering kali dilanggar oleh pemerintah kolonial dan kemudian oleh pemerintah Selandia Baru sendiri, yang mengakibatkan perampasan tanah, penindasan budaya, dan ketimpangan sosial bagi Māori. Oleh karena itu, Hari Waitangi juga menjadi ajang bagi Māori untuk menuntut penghormatan terhadap perjanjian tersebut dan mengkritik kebijakan-kebijakan yang merugikan mereka.
Tahun ini, Hari Waitangi kembali menjadi momen yang tegang dan penting bagi gerakan protes Māori, yang menentang agenda reformasi pemerintah baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Christopher Luxon dari Partai Nasional. Pemerintah koalisi, yang juga melibatkan Partai New Zealand First dan Partai Act, telah mengumumkan sejumlah perubahan kebijakan yang dianggap sebagai upaya untuk menghapus atau mengurangi dukungan terhadap Māori.
Beberapa kebijakan yang menuai kontroversi adalah rencana untuk membubarkan Otoritas Kesehatan Māori, yang dibentuk untuk menangani kesenjangan kesehatan yang mencolok antara Māori dan non-Māori, dan mengurangi penggunaan bahasa Māori, te reo Māori, di departemen-departemen pemerintah. Pemerintah mengklaim bahwa langkah-langkah ini bertujuan untuk menghilangkan “kebingungan” seputar dwibahasa dan membuat kebijakan berdasarkan kebutuhan, bukan ras.
Namun, kebijakan yang paling menimbulkan kemarahan adalah usulan Partai Act untuk meninjau kembali prinsip-prinsip Perjanjian Waitangi, yang telah menjadi dasar bagi pengakuan dan perlindungan hak-hak Māori dalam hukum dan kebijakan Selandia Baru. Usulan ini dianggap sebagai upaya untuk mengabaikan atau mengubah makna perjanjian tersebut, yang bisa membahayakan status dan aspirasi Māori sebagai mitra yang setara dengan pemerintah.
Sebagai bentuk protes, ribuan Māori telah melakukan aksi-aksi demonstrasi di seluruh negeri pada hari Selasa, yang disebut sebagai “Hari Aksi Nasional Māori”, yang dipimpin oleh Partai Māori dan iwi, atau suku-suku Māori. Mereka juga berencana untuk menyambut pemerintah dengan sikap kritis dan menuntut tanggung jawab pada acara-acara Hari Waitangi minggu ini.
Salah satu acara yang paling diantisipasi adalah kunjungan Perdana Menteri Luxon ke tanah perjanjian Waitangi, tempat di mana perjanjian itu ditandatangani oleh para pemimpin Māori dan perwakilan mahkota Inggris. Di tempat ini, sering terjadi insiden-insiden yang menunjukkan ketegangan antara pemerintah dan Māori, seperti pelemparan lumpur, kain hitam, atau mainan seks ke arah politisi, atau pengusiran atau penolakan terhadap pejabat tertentu.
Luxon, yang mengatakan bahwa ia bermaksud untuk mengunjungi Waitangi sebagai tanda hormat dan dialog, akan menghadapi tantangan besar untuk meyakinkan Māori bahwa pemerintahnya tidak anti-Māori dan tidak ingin menggulingkan kemajuan yang telah dicapai selama beberapa dekade terakhir. Ia juga akan berhadapan dengan pemimpin-pemimpin Māori yang berpengaruh dan berkuasa, seperti Raja Māori, yang telah mengumpulkan puluhan ribu orang dari berbagai suku untuk menyatakan penolakan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Selain itu, Luxon juga akan berurusan dengan tuntutan-tuntutan hukum yang diajukan oleh beberapa organisasi Māori, seperti Dewan Iwi Nasional dan Federasi Māori, yang menggugat pemerintah atas pelanggaran terhadap Perjanjian Waitangi dan hak-hak Māori. Tuntutan-tuntutan ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu, karena Māori tidak akan tinggal diam melihat hak-hak mereka terancam.
Hari Waitangi tahun ini diharapkan menjadi salah satu hari yang paling besar dan intens dalam lebih dari satu dekade, karena menunjukkan betapa kuatnya perlawanan Māori terhadap pemerintah yang dianggap tidak menghargai perjanjian yang menjadi landasan negara ini. Hari Waitangi juga menjadi kesempatan bagi Māori untuk menunjukkan solidaritas, mengangkat suara, dan mengirim pesan kepada pemerintah bahwa mereka tidak bisa dimarginalkan atau diabaikan.