Protes di Kenya: Perselisihan RUU Keuangan, 10 Orang Tewas dan Kompleks Parlemen Terbakar

Protes di Kenya: Sedikitnya 10 Orang Tewas Saat Kompleks Parlemen Terbakar di Tengah Perselisihan RUU Keuangan

NAIROBI, Kenya — Krisis politik di Kenya mencapai puncaknya ketika ribuan pengunjuk rasa, yang marah dengan pengesahan RUU Keuangan 2024 yang kontroversial, menyerbu kompleks parlemen pada Selasa. Demonstrasi ini berakhir dengan kekerasan, menyebabkan kebakaran di bagian gedung parlemen dan bentrokan sengit dengan aparat keamanan.

Sekitar tengah hari, sekelompok besar pengunjuk rasa berhasil menerobos barikade polisi dan memasuki kompleks parlemen, hanya beberapa saat setelah anggota parlemen meloloskan RUU Keuangan yang tidak populer. Rekaman langsung dari televisi lokal menunjukkan asap tebal mengepul dari dalam kompleks. Polisi berusaha membubarkan kerumunan dengan menembakkan peluru karet dan gas air mata, namun gagal menghentikan massa yang marah.

Laporan saksi mata dan organisasi hak asasi manusia menyebutkan bahwa setidaknya lima orang tewas akibat tembakan polisi, meskipun angka sebenarnya masih simpang siur. Petugas medis di lapangan melaporkan bahwa lebih dari 50 orang terluka akibat tembakan, sementara sejumlah lainnya mengalami cedera akibat bentrokan dengan aparat.

Kemarahan Terhadap RUU Keuangan 2024

RUU Keuangan 2024 yang baru disahkan memicu kemarahan luas di kalangan masyarakat Kenya. RUU ini mengusulkan berbagai kenaikan pajak, termasuk pajak 16% pada roti dan pajak tambahan pada barang-barang impor seperti pembalut wanita. Meskipun pemerintah kemudian menarik beberapa usulan pajak yang paling kontroversial, banyak warga merasa bahwa langkah-langkah tersebut tetap memberatkan.

Protes ini dipimpin oleh kaum muda, yang merasa bahwa pemerintah gagal memenuhi janji-janji kampanye Presiden William Ruto untuk meringankan beban ekonomi rakyat. “Bagaimana mungkin Anda memaksakan pajak 16% pada roti? Bagaimana bisa Anda memajaki pembalut wanita?” keluh Derrick Mwathu, seorang pemuda berusia 24 tahun, kepada BBC.

Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan selama demonstrasi ini mendapat kecaman keras dari berbagai organisasi hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Manusia Kenya mengutuk tindakan brutal polisi dan menuntut pertanggungjawaban atas tindakan kekerasan tersebut. “Tindakan semacam ini tidak dapat diterima dan merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia,” kata juru bicara komisi tersebut.

Auma Obama, aktivis Kenya dan saudara tiri dari mantan Presiden AS Barack Obama, juga menjadi korban gas air mata saat berpartisipasi dalam protes di Nairobi. Dalam wawancara dengan CNN, Auma Obama mengungkapkan kekesalannya terhadap perlakuan brutal aparat terhadap pengunjuk rasa yang hanya ingin menyuarakan hak-hak mereka.

Dukungan dan Solidaritas Internasional

Protes di Kenya mendapatkan perhatian internasional, termasuk dukungan dari tokoh-tokoh oposisi di negara-negara tetangga. Pemimpin oposisi Uganda, Bobi Wine, dan Julius Malema dari Afrika Selatan, menyatakan solidaritas mereka dengan para pengunjuk rasa di Kenya. Mereka menegaskan bahwa perjuangan rakyat Kenya adalah perjuangan yang sah untuk menentang ketidakadilan dan kebijakan yang memberatkan.

Kenya sedang menghadapi tekanan ekonomi yang berat akibat dampak pandemi COVID-19, perang di Ukraina, dan kemarau berkepanjangan yang melanda negara tersebut. Mata uang Kenya yang melemah semakin memperburuk kondisi ekonomi, membuat biaya hidup semakin tinggi dan mendorong banyak warga ke dalam kemiskinan.

Pemerintah berargumen bahwa kenaikan pajak diperlukan untuk mendanai program-program pengeluaran dan mengurangi beban utang negara. Namun, banyak warga merasa bahwa pemerintah gagal mengelola dana dengan baik dan bahwa korupsi telah merampas uang rakyat. “Mereka menganggarkan untuk korupsi,” kata seorang pengunjuk rasa muda bernama Hussein Ali. “Kami tidak akan mundur. Pemerintah yang akan mundur, bukan kami.”

Presiden Ruto, yang berada di luar Nairobi saat demonstrasi berlangsung, berjanji untuk mengadakan dialog dengan para pemuda yang menjadi garda terdepan dalam protes ini. Namun, hingga kini, pemerintah belum memberikan komentar resmi terkait kekerasan yang terjadi selama demonstrasi.

Di tengah kekacauan, layanan internet di seluruh negara mengalami gangguan signifikan, diduga sebagai upaya pemerintah untuk mengendalikan arus informasi dan menghalangi koordinasi para pengunjuk rasa. Penyedia layanan internet utama Kenya, Safaricom, melaporkan bahwa dua kabel bawah laut mengalami gangguan, menyebabkan pemadaman internet yang luas.

Tuntutan Mundur Presiden dan Aksi di Kota-Kota Lain

Demonstrasi tidak hanya terjadi di Nairobi, tetapi juga meluas ke kota-kota lain di Kenya. Di kota Nakuru, para pengunjuk rasa berusaha menyerbu Gedung Negara, sementara di Mombasa, gubernur setempat bergabung dengan para demonstran dan menyatakan dukungannya. Kantor-kantor partai yang berkuasa dibakar oleh para pengunjuk rasa di Embu, dan bentrokan juga terjadi di kota Nyeri.

Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan pemimpin agama, termasuk pertemuan nasional para uskup Katolik, mengimbau agar polisi tidak menyerang pengunjuk rasa dan meminta pemerintah untuk mendengarkan penderitaan rakyat. “Negara ini sedang berdarah… keluarga-keluarga sangat menderita,” kata para uskup dalam pernyataan mereka.

Selain kekerasan di jalanan, laporan tentang penangkapan dan penghilangan paksa para aktivis juga mencuat. Presiden Masyarakat Hukum Kenya, Faith Odhiambo, menyatakan bahwa sekitar 50 orang Kenya, termasuk asistennya, telah “diculik” oleh orang-orang yang diyakini sebagai petugas polisi. Beberapa dari mereka yang hilang adalah mereka yang vokal dalam demonstrasi dan diambil dari rumah, tempat kerja, dan ruang publik.

Ketua Parlemen Moses Wetangula telah meminta inspektur jenderal polisi untuk memberikan informasi tentang keberadaan mereka yang dilaporkan hilang. Namun, hingga kini, polisi belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

Penolakan yang Meluas dan Tuntutan Baru

Demonstrasi ini awalnya difokuskan pada penolakan terhadap RUU Keuangan, namun dengan cepat meluas menjadi tuntutan agar Presiden Ruto mengundurkan diri. Protes yang sebagian besar dipimpin oleh pemuda ini menunjukkan peningkatan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Ruto, yang dianggap gagal memenuhi janji-janjinya untuk meringankan beban ekonomi rakyat.

Kelompok oposisi menolak untuk ikut serta dalam pemungutan suara di parlemen, dengan meneriakkan “tolak, tolak” saat pembahasan pasal demi pasal dalam RUU tersebut. Setelah disetujui dalam pembacaan ketiga, RUU ini akan dikirimkan kepada presiden untuk ditandatangani. Presiden Ruto memiliki waktu dua minggu untuk menandatangani atau mengembalikannya ke parlemen jika ada keberatan.

Di tengah ketidakpastian politik dan ekonomi yang semakin dalam, masa depan Kenya tampak suram. Gelombang protes yang melanda negara ini mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam di kalangan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap memberatkan dan korupsi yang merajalela.

Krisis ini bukan hanya ujian bagi pemerintahan Presiden Ruto, tetapi juga bagi stabilitas dan demokrasi Kenya secara keseluruhan. Bagaimana pemerintah dan aparat keamanan menangani situasi ini akan sangat menentukan arah masa depan negara ini.

Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang konflik dan ketegangan politik, Kenya saat ini berada di persimpangan jalan. Masyarakat internasional akan mengawasi dengan seksama bagaimana pemerintah Kenya menangani protes ini dan apakah mereka akan mendengarkan suara rakyat atau memilih jalan kekerasan dan represi. Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: rakyat Kenya telah bangkit dan mereka tidak akan berhenti sampai suara mereka didengar.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Scroll to Top