Indonesia, negara kepulauan yang membentang di garis khatulistiwa, mengalami siklus musim kemarau dan hujan yang berbeda. Musim kemarau, yang biasanya berlangsung dari April hingga September, menghadirkan sedikit kelegaan dari curah hujan lebat di bulan-bulan monsun. Namun, musim kemarau tahun ini diperkirakan akan berbeda, dengan kedatangan yang tertunda, pola curah hujan yang tidak merata, dan kekhawatiran kekeringan yang masih melanda daerah tertentu.
Awal yang Tertunda: Awal Tahun yang Lebih Basah
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia memperkirakan awal musim kemarau akan tertunda di sebagian besar wilayah negara. Data dari BMKG menunjukkan bahwa dibandingkan dengan rata-rata historis (1991-2020), hampir 40% wilayah akan mengalami musim kemarau yang datang lebih lambat dari biasanya. Keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk:
- La Niña yang Bertahan: Fenomena La Niña yang sedang berlangsung, yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih dingin daripada rata-rata di Samudra Pasifik khatulistiwa, diketahui memengaruhi pola cuaca global. Dalam kasus Indonesia, La Niña dapat menyebabkan peningkatan curah hujan dan penundaan awal musim kemarau.
- Osilasi Madden-Julian (MJO): MJO adalah fenomena atmosfer skala besar yang bergerak ke timur di sekitar ekuator, berdampak pada pola curah hujan. Aktivitas MJO saat ini mungkin berkontribusi pada pembentukan awan yang meningkat dan menunda transisi ke kondisi yang lebih kering.
Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam konferensi pers pada 15 Maret 2024, menyatakan bahwa “awal musim kemarau 2024 di Indonesia akan tertunda di 282 zona musim (40 persen).” Keterlambatan ini diperkirakan paling terasa di daerah-daerah seperti sebagian Sumatera Utara, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Tambal Sulam Presipitasi: Area Rawan Bencana Tetap Ada
Sementara musim kemarau yang tertunda berarti awal tahun yang lebih basah untuk beberapa daerah, distribusi curah hujan kemungkinan tidak merata. Prakiraan BMKG menunjukkan bahwa beberapa daerah mungkin mengalami kondisi yang lebih basah dari rata-rata sepanjang musim kemarau. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi banjir dan tanah longsor di daerah rawan bencana.
Sebaliknya, BMKG juga memperkirakan bahwa beberapa daerah yang tergolong rentan kekeringan mungkin masih mengalami kondisi yang lebih kering dibandingkan rata-rata. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebelumnya mengidentifikasi Lampung, sebagian Jawa, Bali, NTB, NTT, dan Papua selatan sebagai daerah yang rentan kekeringan pada tahun 2024.
Pelajaran dari 2023: Mitigasi Risiko Kekeringan
Ancaman kekeringan yang tersisa semakin menggarisbawahi pentingnya belajar dari pengalaman masa lalu. Musim kemarau 2023 di Indonesia terbilang parah, dengan beberapa daerah mengalami kekurangan air yang signifikan. Laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada Oktober-Desember 2023 menyoroti dampak kekeringan terhadap produksi pertanian, ketahanan pangan, dan mata pencaharian di daerah yang terkena dampak.
Pemerintah Indonesia, bersama dengan organisasi kemanusiaan, menerapkan berbagai tindakan penanggulangan kekeringan pada tahun 2023. Operasi DREF (Dana Tanggap Darurat) yang didokumentasikan oleh ReliefWeb pada November 2023 merinci inisiatif seperti pengangkutan air, distribusi tablet pemurnian air, dan dukungan mata pencaharian bagi masyarakat rentan.
Menatap ke Depan: Perencanaan dan Kesiapsiagaan adalah Kunci
Saat Indonesia menghadapi ketidakpastian musim kemarau 2024, perencanaan proaktif dan tindakan kesiapsiagaan sangat penting. Berikut beberapa pertimbangan utama:
- Pemantauan Ketat:Â Pemantauan pola cuaca secara terus menerus oleh BMKG dan penyebaran prakiraan cuaca secara tepat waktu kepada pihak berwenang dan masyarakat terkait sangat penting.
- Pengelolaan Sumber Daya Air:Â Menerapkan strategi konservasi air dalam rumah tangga dan praktik pertanian dapat mengurangi tekanan pada sumber daya air selama periode yang lebih kering.
- Rencana Kesiapsiagaan Kekeringan:Â Masyarakat di daerah rawan kekeringan harus memiliki rencana darurat yang terdefinisi dengan baik yang menguraikan tindakan tanggap untuk memastikan ketersediaan air dan meminimalkan dampak