Iran telah mengurangi produksi uranium yang diperkaya hingga 60%, tingkat yang mendekati kualitas bom, tetapi masih melanggar batas yang ditetapkan oleh kesepakatan nuklir 2015 dengan kekuatan dunia, menurut laporan terbaru dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Laporan IAEA, yang diperoleh oleh Reuters, CNN, Bloomberg, dan XM, menunjukkan bahwa Iran memiliki stok 27,5 kilogram uranium yang diperkaya hingga 60% pada 21 Februari 2024, turun dari 34,8 kilogram pada 22 November 2023. Ini adalah penurunan pertama sejak Iran mulai memperkaya uranium hingga 60% pada April 2020, sebagai tanggapan atas pembunuhan ilmuwan nuklirnya oleh Israel.
Namun, stok uranium Iran yang diperkaya hingga 60% masih jauh melebihi batas 3,67% yang diizinkan oleh kesepakatan nuklir, yang juga dikenal sebagai Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA). Selain itu, Iran juga memiliki stok 2.424,9 kilogram uranium yang diperkaya hingga 20%, dan 1.062,8 kilogram uranium yang diperkaya hingga 5%, yang juga melampaui batas 202,8 kilogram yang ditetapkan oleh JCPOA.
Iran mengatakan bahwa langkah-langkahnya untuk meningkatkan pengayaan uranium bersifat reversibel, dan bertujuan untuk menekan kekuatan dunia untuk menghapus sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh mantan Presiden AS Donald Trump setelah ia menarik diri dari JCPOA pada 2018. Iran juga menuntut jaminan bahwa AS tidak akan keluar lagi dari kesepakatan tersebut di masa depan.
Negosiasi nuklir berada di titik buntu
Negosiasi untuk menghidupkan kembali JCPOA telah berlangsung sejak April 2020 di Wina, Austria, dengan perantaraan dari Uni Eropa. Namun, proses tersebut terhenti setelah Iran mengadakan pemilihan presiden pada Juni 2020, yang dimenangkan oleh konservatif garis keras Ebrahim Raisi.
Raisi, yang mengambil alih jabatan pada Agustus 2020, mengatakan bahwa Iran siap untuk melanjutkan pembicaraan, tetapi dengan syarat dan kondisi yang lebih ketat. Ia juga menolak untuk bertemu secara langsung dengan pejabat AS, dan menyerahkan negosiasi kepada Menteri Luar Negeri Hossein Amirabdollahian, yang belum mengunjungi Wina sejak dilantik.
Sementara itu, pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menekankan bahwa kesabaran AS terhadap Iran tidak tak terbatas, dan bahwa jendela kesempatan untuk kembali ke JCPOA semakin menipis. AS juga mengancam akan memberlakukan sanksi baru terhadap Iran jika negosiasi tidak menghasilkan kemajuan.
Kekuatan dunia lain yang terlibat dalam JCPOA, yaitu Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan China, juga telah mendesak Iran untuk kembali ke meja perundingan, dan memperingatkan bahwa kesepakatan tersebut berada di ambang kehancuran. Mereka juga mengungkapkan keprihatinan mereka tentang aktivitas nuklir Iran yang tidak transparan, dan kurangnya kerjasama dengan IAEA.
Iran menghadapi masalah teknis dan politik
Selain menghadapi tekanan internasional, Iran juga menghadapi sejumlah masalah teknis dan politik dalam program nuklirnya. Menurut laporan IAEA, Iran mengalami beberapa insiden yang mengganggu operasi fasilitas pengayaan uraniumnya, termasuk pemadaman listrik, ledakan, dan serangan cyber.
Laporan IAEA juga menunjukkan bahwa Iran belum memenuhi beberapa komitmen yang dibuatnya dalam kesepakatan sementara dengan IAEA pada Februari 2020, yang bertujuan untuk menjaga pemantauan dasar terhadap aktivitas nuklir Iran. Misalnya, Iran belum mengganti baterai atau kartu memori dari kamera-kamera yang dipasang oleh IAEA di beberapa lokasi, yang dapat mengancam integritas data.
Di sisi politik, Iran juga menghadapi oposisi dari kelompok-kelompok garis keras di dalam negeri, yang menentang setiap bentuk konsesi kepada kekuatan dunia. Beberapa pejabat dan anggota parlemen Iran telah menyerukan agar Iran meninggalkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang merupakan landasan hukum untuk kerjasama dengan IAEA. Mereka juga mendesak agar Iran mengembangkan senjata nuklir sebagai alat pertahanan.
Implikasi bagi stabilitas regional dan global
Perkembangan terbaru tentang program nuklir Iran telah meningkatkan ketegangan dan ketidakpastian di Timur Tengah, di mana Iran bersaing dengan rival-rivalnya seperti Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Israel, yang diyakini memiliki senjata nuklir sendiri, telah berulang kali mengancam akan melakukan tindakan militer terhadap Iran jika Iran mendekati ambang batas pembuatan bom.
Negara-negara Arab Teluk, yang khawatir tentang pengaruh dan ambisi Iran di kawasan tersebut, juga telah meningkatkan kerjasama keamanan dan pertahanan mereka dengan AS dan sekutu-sekutunya. Beberapa dari mereka, seperti UEA dan Arab Saudi, juga telah mengekspresikan minat mereka untuk mengembangkan program nuklir sipil mereka sendiri, yang dapat memicu perlombaan senjata nuklir di kawasan tersebut.
Di tingkat global, krisis nuklir Iran juga telah menimbulkan tantangan bagi tatanan multilateral yang berbasis aturan, yang bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal. Kegagalan untuk menyelamatkan JCPOA dapat merusak kredibilitas dan efektivitas IAEA, NPT, dan Dewan Keamanan PBB, yang semuanya memainkan peran penting dalam mengawasi dan menegakkan komitmen nuklir Iran.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang berkepentingan untuk menemukan solusi diplomatik yang dapat mengembalikan kepatuhan penuh Iran terhadap JCPOA, dan mengatasi kekhawatiran yang lebih luas tentang program nuklir Iran. Hal ini tidak hanya akan menguntungkan Iran, yang dapat memulihkan ekonominya dari sanksi, tetapi juga akan berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas regional dan global.