Laba Perusahaan Minyak Meningkat Tajam Sejak Dimulainya Perang Ukraina

Laba Perusahaan Minyak Meningkat Tajam Sejak Dimulainya Perang

Sejak konflik bersenjata meletus di Ukraina pada tahun 2014, perusahaan-perusahaan minyak terbesar di dunia telah mengantongi laba lebih dari 260 miliar euro, menurut sebuah laporan baru dari organisasi lingkungan Greenpeace. Laporan tersebut mengkritik perusahaan-perusahaan minyak tersebut karena tidak berinvestasi cukup dalam energi terbarukan dan berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Laporan tersebut, yang berjudul “Big Oil’s Real Agenda on Climate Change”, mengungkapkan bahwa 10 perusahaan minyak terbesar di dunia, termasuk ExxonMobil, Shell, BP, Chevron, dan Total, telah menghasilkan laba bersih sebesar 281 miliar dolar AS antara tahun 2014 dan 2023. 

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut hanya mengalokasikan 3,8% dari total belanja modal mereka untuk energi terbarukan pada tahun 2023, jauh di bawah target 20% yang direkomendasikan oleh International Energy Agency (IEA).

Greenpeace menuduh perusahaan-perusahaan minyak tersebut melakukan “greenwashing”, yaitu tindakan menipu publik dengan mengklaim bahwa mereka peduli terhadap lingkungan, padahal sebenarnya mereka terus mengebor dan membakar minyak dan gas. Laporan tersebut juga menyoroti bagaimana perusahaan-perusahaan minyak tersebut menggunakan pengaruh politik dan ekonomi mereka untuk menghalangi transisi ke energi bersih dan menggagalkan upaya-upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

“Perusahaan-perusahaan minyak ini tidak hanya bertanggung jawab atas krisis iklim yang kita hadapi, tetapi juga menghalangi solusi yang kita butuhkan,” kata Naomi Ages, kepala kampanye iklim dan energi Greenpeace International, dalam sebuah pernyataan. “Mereka menggunakan kekuatan dan uang mereka untuk membeli akses ke politisi dan menghalangi peraturan yang akan melindungi orang-orang dan planet ini,” tambahnya.

Dampak Perang Ukraina terhadap Industri Minyak

Perang Ukraina, yang dimulai pada tahun 2014 setelah Rusia mencaplok wilayah Krimea dan mendukung pemberontak pro-Rusia di timur Ukraina, telah menimbulkan ketegangan geopolitik dan ketidakstabilan di kawasan Eropa Timur. Perang tersebut juga telah berdampak terhadap industri minyak global, karena Ukraina merupakan jalur transit penting bagi pasokan gas alam dari Rusia ke Eropa.

Menurut analis energi, perang Ukraina telah meningkatkan permintaan dan harga minyak di pasar global, karena adanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dan sanksi terhadap Rusia. Hal ini telah menguntungkan perusahaan-perusahaan minyak besar, yang dapat memanfaatkan situasi tersebut untuk meningkatkan produksi dan laba mereka.

Namun, perang Ukraina juga telah menyoroti pentingnya diversifikasi sumber energi dan meningkatkan kesadaran akan masalah keamanan energi di Eropa. Beberapa negara Eropa, terutama Jerman, telah berusaha untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap gas alam Rusia dengan meningkatkan investasi dalam energi terbarukan, seperti angin dan surya. 

Selain itu, beberapa negara Eropa juga telah mendukung proyek-proyek infrastruktur energi alternatif, seperti pipa gas Trans-Adriatic Pipeline (TAP) dan Trans-Anatolian Pipeline (TANAP), yang akan menghubungkan sumber gas alam dari Azerbaijan ke Eropa melalui Turki.

Tantangan dan Peluang bagi Perusahaan Minyak di Masa Depan

Meskipun perusahaan-perusahaan minyak telah memperoleh keuntungan besar dari perang Ukraina, mereka juga menghadapi tantangan besar di masa depan, karena tekanan publik dan peraturan yang semakin ketat terkait dengan isu-isu lingkungan dan iklim. Menurut IEA, untuk mencapai tujuan perjanjian iklim Paris 2015, yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius, dunia harus mengurangi konsumsi minyak sebesar 25% pada tahun 2030 dan sebesar 65% pada tahun 2050.

Untuk beradaptasi dengan perubahan ini, perusahaan-perusahaan minyak harus melakukan transformasi bisnis mereka dan beralih ke energi terbarukan, yang menawarkan peluang pertumbuhan baru dan berkelanjutan. Beberapa perusahaan minyak, seperti Shell dan Total, telah mulai mengambil langkah-langkah dalam arah ini, dengan mengakuisisi perusahaan-perusahaan energi terbarukan, mengembangkan proyek-proyek hidrogen dan penangkapan karbon, dan menetapkan target emisi nol bersih. 

Namun, langkah-langkah ini masih dianggap tidak cukup oleh para aktivis lingkungan, yang menuntut agar perusahaan-perusahaan minyak menghentikan semua kegiatan pengeboran dan pembakaran minyak dan gas.

“Perusahaan-perusahaan minyak ini harus mengakui bahwa masa depan mereka tidak ada di minyak dan gas, tetapi di energi bersih dan terbarukan,” kata Ages. “Jika mereka tidak mau berubah, mereka akan ditinggalkan oleh sejarah dan oleh masyarakat yang menuntut tindakan nyata untuk mengatasi krisis iklim,” pungkasnya.
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Scroll to Top