AS melakukan serangan udara terhadap milisi yang didukung Iran di dekat perbatasan Irak dan Suriah sebagai balasan atas serangan drone yang menewaskan tiga tentara AS di Irak. Serangan itu merupakan eskalasi signifikan dalam upaya AS untuk menangkal ancaman dari kelompok-kelompok yang didukung Iran di Timur Tengah.
Sementara itu, konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza masih belum menemukan titik temu, meskipun ada usulan gencatan senjata sementara yang melibatkan pertukaran sandera.
Serangan Balasan AS
Menurut juru bicara Pentagon, serangan udara AS menargetkan “fasilitas operasional dan penyimpanan senjata” di tiga lokasi. Serangan itu melibatkan dua pesawat pembom B-1B yang diterbangkan dari pangkalan udara di Texas.
Fasilitas yang diserang termasuk pusat komando dan kontrol, pusat intelijen, roket, rudal, penyimpanan kendaraan udara tak berawak, serta fasilitas rantai pasokan logistik dan amunisi yang dimiliki oleh kelompok milisi dan sponsor IRGC (Pasukan Quds Korps Garda Revolusi Islam Iran) yang memfasilitasi serangan terhadap pasukan AS dan koalisi.
Serangan itu diluncurkan sebagai pembalasan atas serangan drone yang dilakukan oleh Perlawanan Islam di Irak, sebuah entitas yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pasukan AS di Yordania pekan lalu yang menewaskan tiga tentara AS dan melukai sekitar 40 orang lainnya. Drone yang digunakan dalam serangan itu dikatakan dibuat oleh Iran dan mirip dengan yang dipasok ke Rusia.
Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa serangan AS “akan berlanjut pada waktu dan tempat yang kami pilih”. Ia juga menegaskan bahwa AS “tidak mencari konflik di Timur Tengah atau di tempat lain di dunia”. Namun, ia memperingatkan, “biarlah semua orang yang mungkin berusaha membahayakan kami tahu ini: Jika Anda menyakiti seorang Amerika, kami akan menanggapi”.
Serangan AS mendapat reaksi beragam dari berbagai pihak. Irak dan Suriah mengutuk serangan itu sebagai “pelanggaran kedaulatan Irak” dan “ancaman yang akan menyeret Irak dan kawasan ke dalam konsekuensi yang tak terduga”. Iran juga mengecam serangan itu sebagai “agresi ilegal” dan “tindakan terorisme”.
Sementara itu, beberapa negara sekutu AS, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, menyatakan dukungan mereka terhadap hak AS untuk membela diri. Mereka juga menyerukan penurunan ketegangan dan dialog konstruktif untuk mengatasi masalah di kawasan.
Konflik Israel-Hamas
Di sisi lain, konflik antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza masih berlangsung sejak 7 Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan darat, laut, dan udara terhadap Israel dari Jalur Gaza. Serangan itu mengakibatkan lebih dari 1.200 kematian, terutama warga sipil Israel, menjadikannya hari paling mematikan bagi Israel sejak kemerdekaannya. Lebih dari 240 orang juga dijadikan sandera selama serangan itu. Keesokan harinya, Israel menyatakan dirinya dalam keadaan perang untuk pertama kalinya sejak Perang Yom Kippur pada 1973.
Perang itu dimulai dengan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melakukan serangan udara di Jalur Gaza, diikuti beberapa minggu kemudian oleh masuknya pasukan darat dan kendaraan lapis baja. Serangan-serangan itu menewaskan lebih dari 14.000 orang Palestina di Gaza, lebih dari setengahnya adalah warga sipil, menurut kementerian kesehatan yang dijalankan oleh Hamas di Gaza. Selain itu, sekitar 2.000 orang Israel juga tewas akibat serangan roket dan mortir dari Gaza, serta serangan bunuh diri dan penembakan di Israel.
Konflik itu dipicu oleh ketidakpuasan Hamas terhadap perjanjian damai antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) yang ditandatangani pada September 2023. Perjanjian itu, yang juga melibatkan Bahrain, Sudan, dan Maroko, dianggap oleh Hamas sebagai pengkhianatan terhadap hak-hak rakyat Palestina. Hamas juga menuntut penghentian blokade Israel terhadap Gaza, yang telah berlangsung sejak 2007, ketika Hamas mengambil alih wilayah itu dari Otoritas Palestina yang dipimpin oleh Fatah. Selain itu, Hamas juga menuntut pembebasan tahanan Palestina di penjara Israel, termasuk para pemimpinnya.
Upaya-upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik itu belum membuahkan hasil, meskipun ada usulan gencatan senjata sementara yang melibatkan pertukaran sandera antara Israel dan Hamas. Usulan itu diajukan oleh Mesir, yang bertindak sebagai mediator antara kedua belah pihak, dengan dukungan dari Qatar, Turki, dan PBB.
Namun, usulan itu ditolak oleh Israel, yang menuntut pembebasan tanpa syarat semua sandera yang dipegang oleh Hamas, serta penghentian total serangan dari Gaza. Sementara itu, Hamas mengatakan bahwa ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan usulan itu, dan menegaskan bahwa setiap negosiasi harus mengarah pada gencatan senjata permanen dan “pertukaran tahanan yang serius dan menguntungkan”.
Konflik Israel-Hamas juga mendapat reaksi beragam dari dunia internasional. Beberapa negara, seperti AS, Inggris, dan Jerman, menyatakan dukungan mereka terhadap hak Israel untuk membela diri, tetapi juga mendesak agar menghindari korban sipil dan menghormati hukum kemanusiaan internasional. Mereka juga menyerukan solusi dua negara yang adil dan langgeng untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.
Sementara itu, beberapa negara lain, seperti Iran, Turki, dan Pakistan, mengutuk serangan Israel terhadap Gaza sebagai “kejahatan perang” dan “genosida”, dan menyerukan dukungan internasional untuk rakyat Palestina. Mereka juga mengecam perjanjian damai antara Israel dan negara-negara Arab sebagai “pengkhianatan” dan “pengakuan tidak sah”.