AS melancarkan serangan udara di Irak dan Suriah pada hari Selasa (30/1/2024), menargetkan fasilitas yang digunakan oleh milisi yang didukung Iran, sebagai balasan atas serangan drone yang menewaskan dua tentara AS dan seorang kontraktor sipil di Irak minggu lalu.
Serangan udara AS, yang merupakan tindakan militer pertama Presiden Joe Biden di Timur Tengah, menewaskan sedikitnya 22 anggota milisi, menurut sebuah kelompok pemantau yang berbasis di Inggris. Sementara itu, juru bicara Pentagon John Kirby mengatakan bahwa tujuan serangan udara adalah untuk “mengurangi kemampuan milisi untuk melakukan serangan masa depan terhadap personel dan fasilitas koalisi AS di Irak”.
Serangan udara AS mendapat reaksi keras dari Iran dan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut, yang mengecamnya sebagai pelanggaran kedaulatan dan hukum internasional. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan bahwa AS harus menghentikan “kekerasan dan pelanggaran hukum” dan menghormati “keputusan rakyat Irak”. Sementara itu, kelompok milisi yang diserang, Kataib Hezbollah, mengancam akan membalas dengan “serangan yang menyakitkan” terhadap pasukan AS.
Serangan udara AS juga menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan kewenangan presiden untuk melakukan tindakan militer tanpa persetujuan Kongres. Beberapa anggota Kongres dari kedua partai mengkritik keputusan Biden, dengan mengatakan bahwa ia harus berkonsultasi dengan Kongres terlebih dahulu atau menjelaskan alasan hukumnya. Namun, beberapa anggota Kongres lainnya mendukung langkah Biden, dengan mengatakan bahwa ia bertindak untuk melindungi pasukan AS dan sekutu-sekutunya.
Serangan udara AS terjadi di tengah upaya diplomatik untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, yang ditinggalkan oleh mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2018. Biden telah menyatakan bahwa ia bersedia kembali ke kesepakatan tersebut jika Iran kembali mematuhi batasan-batasan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Namun, Iran menuntut agar AS menghapus sanksi-sanksi yang diberlakukan oleh Trump sebelum kembali ke meja perundingan.
Serangan udara AS juga menambah ketegangan di kawasan tersebut, yang telah dilanda oleh konflik dan kekerasan selama beberapa bulan terakhir. Di Irak, pemerintah berjuang untuk mengatasi serangan-serangan oleh kelompok militan ISIS, yang telah meningkatkan aktivitasnya di beberapa wilayah. Di Suriah, perang saudara yang berkecamuk sejak 2011 masih berlangsung, dengan berbagai pihak yang bersaing untuk menguasai wilayah dan sumber daya.
Di Israel dan Palestina, gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas terancam oleh aksi protes dan bentrokan di Yerusalem Timur.
Serangan udara AS menunjukkan bahwa Biden menghadapi tantangan besar dalam menangani masalah-masalah yang kompleks dan sensitif di Timur Tengah, yang membutuhkan keseimbangan antara kepentingan keamanan nasional AS dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia.
Biden juga harus berhati-hati untuk tidak memperburuk hubungan dengan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut, seperti Arab Saudi dan Turki, yang memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda dengan AS tentang beberapa isu regional.
Serangan udara AS adalah sebuah peringatan bagi Iran dan milisi-milisi yang didukungnya bahwa AS tidak akan tinggal diam jika pasukan-pasukannya diserang. Namun, serangan udara tersebut juga berisiko meningkatkan eskalasi dan memicu siklus balas dendam yang sulit dihentikan. Biden harus berusaha untuk menurunkan ketegangan dan mencari solusi damai dan diplomatis untuk mengatasi konflik-konflik di Timur Tengah, yang tidak hanya mengancam stabilitas regional, tetapi juga perdamaian dan keamanan global.